DI MATA NANDITA
“Nandita!
Istirahatlah biar aku yang melakukan sisanya!” suara Irsyad memenuhi
penglihatan ku sekarang.
“Kamu sudah banyak bekerja,
istirahat yah Nandita...” Irsyad kembali mengambil loyang kue yang baru saja ku
ambil dari oven.
Aku
hanya membiarkannya seperti itu hingga akhirnya suara Yunita yang menghempaskan
bayangan Irsyad yang benar-benar ku rasa begitu nyata.
“Bu
Nandita, biar saya saja yang letakan kuenya ke depan.”
Aku
tersenyum sembari menggeleng pelan menandakan aku bisa melakukan semuanya
sendiri.
“Ibu
sudah banyak bekerja, biar saya saja yang lakukan sisanya, ibu istirahat
yah...” pinta Yunita sopan sembari mengambil alih nampan yang ada di tangan ku.
Ingin
sekali aku memakin Yunita karena perlakuannya barusan sangat persis seperti apa
yang Irsyad lakukan padaku.
Aku
kembali mengedarkan pandangan pada beberapa pegawai ku yang sedang sibuk dengan
tugas mereka masing-masing. Lelah rasanya jika aku terus-terusan seperti ini.
Akhirnya aku memilih pergi ke lantai atas di mana ada satu ruang kerja yang
biasanya ku pakai sebagai ruang istirahat.
Lama aku
melamun berharap bahwa dengan lamunan ini aku bisa benar-benar bertemu dengan
Irsyad. Rasanya nafas ku semakin sesak saja setiap harinya. Melihat Nara yang
begitu tegar menghadapi semuanya tanpa ada bayangan Irsyad membuat ku harus
ahli menutupi kesedihan ku karena tak bisa bersama Irsyad.
Ingin
rasanya aku menangis namun jika aku benar-benar melakukannya, aku akan
kehabisan cadangan air mata nantinya. Aku tak bisa melakukanya semua dengan
baik karena selama tak ada Irsyad yang aku rasakan adalah aku selalu salah.
“Nandita! Minum dulu tehnya, biar badan kamu
rileks.”
Kembali
aku tertegun melihat bayangan Irsyad yang membawakan segelas teh hangat yang membuat
ku hanya mengangguk singkat. Saat aku hendak menjawab panggilannya. Suara lain
datang menyadarkan ku.
“Bu
Nandita, ibu kayaknya lelah, makanya saya buatkan teh herbal, biar badan ibu
rileks.” Yunita mengangsurkan segelas teh ke depan ku.
“Makasih
Yunita....” ucap ku tulus yang di sambut senyuman Yunita.
“Kalau
memang pelanggan sudah tidak ada, kita bisa tutup.” Yunita mengangguk perlahan
memahami instruksi ku.
Dengan
satu tangan aku mengambil cangkir teh itu dan menyeruput tehnya dengan pelan. Tak
ku hiraukan lidah ku yang terbakar karena teh yang masih panas.
“Nandita, kamu bisa kan minum secara
perlahan kan? Tehnya masih panas!” suara Irsyad kembali terngiang membuat ku
tersenyum tipis.
Namun
dengan cepat bayangan itu menjadi sosok Yunita yang menatap ku khawatir.
“Ibu
Nandita, tehnya masih panas, ibu nggak apa-apa kan?” Yunita hendak mengambil
air untuk menetralisir rasa panas di lidah ku namu ku tahan gerakannya.
“Nggak
apa-apa, saya baik-baik saja.” Yunita tak percaya dengan kebohongan ku.
“Oh iya,
bisa kamu keluar sebentar, saya ingin sendiri.” pinta ku lelah karena bagaimana
tidak semua yang di lakukan hari ini oleh Yunita selalu sama dengan apa yang
Irsyad lakukan.
“Saya
mohon ibu jangan melamun lagi, Bu Nandita bisa panggil saya kalau ibu butuh
apa-apa.” ucap Yunita sebelum menghilang di balik pintu.
“Aku mohon jangan melamun lagi, kalau ada
apa-apa kamu bisa cerita ke aku...”
Biasanya
Irsyad akan mengatakan hal itu dan meminta ku untuk melimpahkan semuanya pada
Irsyad. Aku menarik nafas berat sebelum akhirnya aku benar-benar menangis.
“Coba saja jalani hidup tanpa aku, kamu
pasti tak akan bisa!”
Dulu,
aku hanya tersenyum kecil mendengar teriakan Irsyad yang bahkan menggema sampai
sekarang.
“Iya
Irsyad, aku sudah mencoba hidup tanpamu
tapi benar apa yang kamu bilang, aku nggak bisa hidup tanpamu.”
Seketika
semua pertahanan ku runtuh. Aku tak bisa menahan ketegaran yang selama ini ku
bangun. Aku membutuhkan Irsyad dalam hidup ku. Hanya ada satu cara mengobati
luka ku ini. Yah, dengan bertemu Irsyad langsung.
Dua jam
kemudian aku bangkit dan memilih melihat Irsyad. Tak banyak pertanyaan dari
pegawai mengapa aku meminta mereka menutup Toko Berrish lebih awal. Mereka
mungkin bisa membaca dari mata ku yang sembap akibat menangis lebih dari dua
jam.
“Kalian
hati-hati yah...” ujar ku sembari memberikan mereka bungkusan kue yang ada di
nakas.
“Bu
Nandita, ini kan masih bisa di jual.” ceplos Sela yang ku jawab dengan
senyuman.
“Kamu
itu udah di kasih malah nanya balik!” timpal Fadil.
“Makasih
Bu Nandita...” Yunita tersenyum sopan.
“Kami
boleh pulang lebih dulu?” tanya Sela lagi.
“Lo
nggak dengar tadi yang di bilang bos, kita boleh pulang duluan!” Fadil kembali
mengomeli Sela.
“Kan aku
nanya lagi biar memastikan jawabannya.” Fadil hanya manggut-manggut mendengar
alasan Sela.
“Kalau
begitu kami pulang duluan....” ucap Nandita menyadarkan Sela dan Fadil sehingga
mereka pun bergegas meninggalkan toko.
Di balik
kaca besar yang menghadap ke parkiran. Aku melihat Sela dan Fadil yang masih
beradu argumen sebelum akhirnya Fadil mengambil tas Sela kemudian meminta Sela
menaiki motornya. Yunita sudah lebih dahulu pergi seraya mengangguk sopan ke
arah ku.
Tak lama
kemudian aku kembali tersadar bahwa aku juga harus menuntaskan rasa rindu ku
secepatnya. Setelah memastikan semuanya terkunci aku pun menyalakan mobil ku
yang sengaja ku parkir di toko sebrang sana.
Hanya
keheningan malam yang menyelimuti segala perasaan ku. Sunyi dan sepi sama
seperti malam-malam biasanya. Dengan mempercepat laju mobil aku segera menuju
Rumah Sakit Umum di kota tempat kami tinggal.
Mungkin
karena kemampuan ku menyetir semakin baik aku tak mengira bahwa aku bisa segera
sampai di Rumah Sakit. Akhirnya setelah memarkir mobil aku pun langsung
memasuki rumah sakit. Perawat yang berjaga pun hanya tersenyum sembari
mempersilahkan ku masuk.
Nampaknya
mereka tahu apa yang ku lakukan selama ini. Mereka selalu tersenyum dan berdo’a
semoga aku makin tabah. Semoga aku makin kuat dan semoga aku bisa bertahan
lebih baik lagi.
Dengan
pelan aku membuka pintu ruangan. Hawa dingin menyeruak dari segala penjuru
ruangan yang bernuansa putih. Bunyi alat pendetak jantung yang normal membuat
ku bisa melihat bahwa masih ada harapan.
“Hai,
maaf yah lama....” Aku menarik kursi dan kembali melihat sosok yang ku cintai
tetap tertidur tenang.
“Irsyad,
kamu masih mau mendengar cerita ku kan? Kamu satu-satunya lelaki yang paling
tahan mendengar keluh kesah ku.” Ucap ku sembari menggenggam tangannya yang
dingin.
“Aku
tahu di balik dinginnya tangan ini, ada kehangatan yang luar biasa di
dalamnya.” Sambung ku sembari menempelkan telapak tangannya pada pipi ku.
“Irsyad,
apa yang kamu lihat dulu benar adanya, Sela dan Fadil mungkin punya hubungan
khusus. Aku tadi melihat mereka terus adu mulut tapi Fadil memaksa Sela ikut
pulang bersama.”
Tak ada
jawaban dan aku kembali tersenyum miris. Aku mencoba tak memukulnya hanya untuk
membuatnya sadar. Selama setahun ini Irsyad tertidur karena koma akibat
kecelakaan proyek yang membuatnya terjatuh dari lantai tiga puluh sebuah
konstruksi hotel yang sedang di bangunnya.
Aku
sangat sedih menerima kenyataan bahwa Irsyad tak bisa menemani tumbuh kembang
putri kami yang sudah menginjak SMA. Bukan hanya itu saja. Irsyad membiarkan
hati ini kosong seperti dulu. Tak tersentuh dan lebih dingin.
Tak
ingin berlarut-larut, aku memilih melanjutkan cerita ku tentang Nara.
“Kamu
tahu Irsyad, putri kita Nara, dia sudah semakin dewasa, yah kamu tebak sendiri,
dia mewarisi semua sifat kamu, dia tahu bagaimana merawat ku saat aku lelah,
dia tahu betul bagaimana memperhatikan ku, dia juga pintar sama seperti mu. Oh
iya, Nara nampaknya makin dekat dengan Barra, yah anak bos mu dulu.”
Aku
mengusap pelan rambut Irsyad yang makin tebal. Tentu saja ini sudah hampir setahun
sejak Irsyad tertidur seperti ini.
“Aku
nggak suka cowok gondrong, tapi kamu pengecualian.” Aku menunduk sedikit hingga
akhirnya aku bisa mencium kening Irsyad.
“Aku
semakin ingat apa yang kamu katakan dulu, kamu bilang aku nggak akan bisa hidup
tanpa mu....”
Aku
sejujurnya tak kuasa bila meneruskan kalimat ini karena kenyataannya aku tahu
tak akan ada yang meneruskan kalimat ini selain diriku sendiri.
“Aku
sudah coba menjalani hidup ku dengan baik tanpa kamu, tetapi aku tak bisa.
Mungkin karena kamu adalah kehidupanku yang sebenarnya.”
Aku tahu
apa yang ku katakan barusan malah memancing air mata ku yang sudah menumpuk di
sudut mata ku.
“Oh iya,
aku masih punya hutang sama kamu, sekarang aku akan mengucapkannya lebih sering
dari mu. Aku sayang kamu Irsyad.”
“Mungkin
kamu tak dengar, sekali lagi ku katakan, aku sayang kamu Irsyad.”
Aku
memejamkan mata dan kembali menarik nafas berat sebelum akhirnya aku
benar-benar mengatakan empat kata yang dulu jarang sekali ku katakan.
“Aku
sayang kamu Irsyad, cepat bangun dan cintai aku lagi seperti biasanya.”
Semoga
Sang Khalik bahwa aku tak akan berhenti menunggu sampai kamu bangun dan kembali
padaku.
THE END
Image source: Kiblat.net
Terima kasih atas telah mendedikasikan cerita ini :)
Created by: wp @Hilda32
Instagram:Nurhidayati
Comments
Post a Comment